Wednesday 11 April 2012

Wawasan Nusantara Bahari

ALHAMUDLILLAH, kita bersyukur bahwa Indonesia adalah suatu negeri maritim yang luas. Corak alam dan lingkungannya bervariasi, dilengkapi kemajemukan yang tinggi di antara lebih 400 suku bangsa.
Salah satu ciri Indonesia adalah berstruktur pinggiran benua atau continental margin dan merupakan hasil titik temu tiga lempeng besar bumi, yaitu lempeng Pasifik, Eurasia, dan Samudera Hindia-Australia atau yang lazim disebut triple junction.
Wawasan Nusantara Bahari pernah dilontarkan dalam Deklarasi Djuanda tahun 1957 sebagai simbol pemersatu bangsa di mana wilayah maritim menjadi hal yang menarik, tetapi nasib dari konsep itu belum mengalami kemajuan signifikan.
Bukan itu saja, nilai ekonomis dan strategis bahkan simbolis atas batas wilayah laut belum pernah dikembangkan secara sungguh-sungguh. Padahal, diplomasi maritim dan ekonomi adalah bagian penting dari kebijakan luar negeri Indonesia yang strategis. Diplomasi tersebut berperan dalam pergeseran konstelasi geopolitik internasional masa kini. Poros Selat Malaka-Laut China Selatan, misalnya, menjadi jalur strategis pelayaran tersibuk di dunia.
Pada 1966, TNI Angkatan Darat menggulirkan Wawasan Nusantara Bahari sebagai doktrin strategis militer. Setelah dimodifikasi Lemhanas, pada awal 1970-an konsep itu diserahkan ke sidang umum MPR dan dimasukkan GBHN. Wawasan Nusantara Bahari resmi menjadi doktrin politik negara tahun 1973.
Konsep Wawasan Nusantara Bahari yang diperjuangkan sejak tahun 1957 itu akhirnya diakui dunia. Termasuk pengakuan batas wilayah teritorial laut Indonesia sejauh 12 mil dari titik pangkal terluar kepulauaan Indonesia, serta zona ekonomi eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil dari wilayah teritorial Indonesia.
Selanjutnya, Konvensi Hukum Laut PBB (UN Convention on Law of the Seas) tahun 1982, yang diratifikasi pada tahun 1994, telah memantapkan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dunia.
Akhmad Syarief Kurniawan,
Aktivis Muda NU Kotagajah
Lampung Tengah
==========================================
SPI Menolak Pencaplokan Tanah
PERSOALAN kemiskinan bukan hanya membelit indonesia, melainkan juga banyak negara lain. Ironis, karena yang dilanda kemiskinan dan kelaparan adalah penduduk perdesaan yang memproduksi pangan. Diperkirakan, lebih dari 700 juta jiwa penduduk desa kini dalam keadaan kelaparan.
Studi yang dilakukan Komite Penasihat untuk Dewan HAM PBB tentang diskriminasi dalam konteks hak atas pangan (Dokumen A/HRC/16/40) menyebutkan bahwa petani, pemilik lahan kecil, buruh tak bertanah, nelayan pemburu, dan peramu adalah salah satu kelompok rentan dan terdiskriminasi.
Pernyataan ini juga diperkuat fakta dari Satuan Tugas Penanggulangan Kelaparan PBB yang menunjukkan bahwa 80% penduduk dunia yang menderita kelaparan adalah warga perdesaan. Dari total angka kelaparan yang nyaris mencapai 1 miliar jiwa, 75%-nya adalah masyarakat yang tinggal dan bekerja di perdesaan.
Selain mengalami diskriminasi terhadap hak-hak asasi mereka, para petani dan rakyat yang bekerja di perdesaan juga banyak dilanggar haknya, terutama hak atas tanah mereka. Jutaan petani dipaksa meninggalkan lahan pertanian mereka karena pencaplokan tanah (land grabbing) yang difasilitasi kebijakan nasional maupun internasional. Negara maupun pihak swasta mencaplok tanah, yang banyak melibatkan lebih dari 10 ribu hingga 500 ribu hektare lahan yang penting bagi kedaulatan pangan bangsa.
Para ahli dari Committee on World Food Security, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), memperkirakan sekitar 50 juta—80 juta ha tanah di negara miskin dan negara-negara berkembang telah dicaplok investasi internasional.
Tanah tersebut diambil dari petani untuk pembangunan industri skala besar atau proyek-proyek infrastruktur, industri ekstraksi seperti pertambangan, kawasan wisata, kawasan ekonomi khusus, supermarket, dan perkebunan. Hasilnya, jumlah lahan hanya terkonsentrasi pada beberapa pihak.
Di Indonesia, kita bisa melihat kasus Mesuji, Bima-Sape, dan Merauke yang mengemuka akhir-akhir ini. Untuk itulah Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak pencaplokan tanah dan mengusulkan urgensi terhadap pengakuan dan perlindungan hak asasi petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan.
Sugiyanto
Gerakan Masyarakat Pemantau Pembangunan

Referensi :
http://www.lampungpost.com/surat-pembaca/28227-jangan-lupakan-wawasan-nusantara-bahari-.html

No comments:

Post a Comment