Tuesday 22 March 2011

hubungan antara manajemen organisasi (1DB07)

Manajemen Hubungan Pelanggan (bahasa Inggris: Customer Relationship Management disingkat CRM) adalah suatu jenis manajemen yang secara khusus membahas teori mengenai penanganan hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan di mata para pelanggannya.
Pengertian lain mengatakan bahwa ia adalah sebuah sistem informasi yang terintegrasi yang digunakan untuk merencanakan, menjadwalkan, dan mengendalikan aktivitas-aktivitas prapenjualan dan pascapenjualan dalam sebuah organisasi. CRM melingkupi semua aspek yang berhubungan dengan calon pelanggan dan pelanggan saat ini, termasuk di dalamnya adalah pusat panggilan (call center), tenaga penjualan (sales force), pemasaran, dukungan teknis (technical support) dan layanan lapangan (field service).

Sasaran dan Tujuan

Sasaran utama dari CRM adalah untuk meningkatkan pertumbuhan jangka panjang dan profitabilitas perusahaan melalui pengertian yang lebih baik terhadap kebiasaan (behavior) pelanggan. CRM bertujuan untuk menyediakan umpan balik yang lebih efektif dan integrasi yang lebih baik dengan pengendalian return on investment (ROI) di area ini.
Otomasi Tenaga Penjualan (Sales force automation/SFA), yang mulai tersedia pada pertengahan tahun 80-an adalah komponen pertama dari CRM. SFA membantu para sales representative untuk mengatur account dan track opportunities mereka, mengatur daftar kontak yang mereka miliki, mengatur jadwal kerja mereka, memberikan layanan training online yang dapat menjadi solusi untuk training jarak jauh, serta membangun dan mengawasi alur penjualan mereka, dan juga membantu mengoptimalkan penyampaian informasi dengan news sharing.SFA, pusat panggilan (bahasa inggris:call center) dan operasi lapangan otomatis ada dalam jalur yang sama dan masuk pasaran pada akhir tahun 90-an mulai bergabung dengan pasar menjadi CRM. Sama seperti ERP (bahasa Inggris:Enterprise Resource Planning), CRM adalah sistem yang sangat komprehensif dengan banyak sekali paket dan pilihan.
Merujuk kepada Glen Petersen, penulis buku “ROI: Building the CRM Business Case,” sistem CRM yang paling sukses ditemukan dalam organisasi yang menyesuaikan model bisnisnya untuk profitabilitas, bukan hanya merancang ulang sistem informasinya.
CRM mencakup metoda dan teknologi yang digunakan perusahaan untuk mengelola hubungan mereka dengan pelanggan. Informasi yang disimpan untuk setiap pelanggan dan calon pelanggan dianalisa dan digunakan untuk tujuan ini. Proses otomasi dalam CRM digunakan untuk menghasilkan personalisasi pemasaran otomatis berdasarkan informasi pelanggan yang tersimpan di dalam sistem.

Fungsi-fungsi dalam CRM

Sebuah sistem CRM harus bisa menjalankan fungsi:
  • Mengidentifikasi faktor-faktor yang penting bagi pelanggan.
  • Mengusung falsafah customer-oriented (customer centric)
  • Mengadopsi pengukuran berdasarkan sudut pandang pelanggan
  • Membangun proses ujung ke ujung dalam melayani pelanggan
  • Menyediakan dukungan pelanggan yang sempurna
  • Menangani keluhan/komplain pelanggan
  • Mencatat dan mengikuti semua aspek dalam penjualan
  • Membuat informasi holistik tentang informasi layanan dan penjualan dari pelanggan

Mengimplementasikan CRM

Customer relationship management adalah strategi tingkat korporasi, yang berfokus pada pembangunan dan pemeliharaan hubungan dengan pelanggan. Beberapa paket perangkat lunak telah tersedia dengan pendekatan yang berbeda-beda terhadap CRM. Bagaimanapun, CRM bukanlah teknologi itu sendiri, tapi ia adalah pendekatan holistik terhadap falsafah organisasi, yang menekankan hubungan yang erat dengan pelanggan. CRM mengurus filosofi organisasi pada semua tingkatan, termasuk kebijakan dan proses, customer service, pelatihan pegawai, pemasaran, dana manajemen sistem dan informasi. Sistem CRM mengintegrasikan pemasaran, penjualan, dan customer service dari ujung ke ujung.
_________________________________________________________________________________________
Customer relationship management (CRM) is a broadly recognized, widely-implemented strategy for managing a company’s interactions with customers, clients and sales prospects. It involves using technology to organize, automate, and synchronize business processes—principally sales activities, but also those for marketing, customer service, and technical support. The overall goals are to find, attract, and win new clients, nurture and retain those the company already has, entice former clients back into the fold, and reduce the costs of marketing and client service.[1] Customer relationship management describes a company-wide business strategy including customer-interface departments as well as other departments.[2]

Related trends

Many CRM vendors offer Web-based tools (cloud computing) and software as a service (SaaS), which are accessed via a secure Internet connection and displayed in a Web browser. These applications are sold as subscriptions, with customers not needing to invest in purchasing and maintaining IT hardware, and subscription fees are a fraction of the cost of purchasing software outright.

Phases

The three phases in which CRM support the relationship between a business and its customers are to:
  • Acquire: CRM can help a business acquire new customers through contact management, direct marketing, selling, and fulfillment.
  • Enhance: web-enabled CRM combined with customer service tools offers customers service from a team of sales and service specialists, which offers customers the convenience of one-stop shopping.
  • Retain: CRM software and databases enable a business to identify and reward its loyal customers and further develop its targeted marketing and relationship marketing initiatives.

Challenges

Tools and workflows can be complex, especially for large businesses. Previously these tools were generally limited to contact management: monitoring and recording interactions and communications. Software solutions then expanded to embrace deal tracking, territories, opportunities, and at the sales pipeline itself. Next came the advent of tools for other client-interface business functions, as described below. These tools have been, and still are, offered as on-premises software that companies purchase and run on their own IT infrastructure.
Often, implementations are fragmented—isolated initiatives by individual departments to address their own needs. Systems that start disunited usually stay that way: siloed thinking and decision processes frequently lead to separate and incompatible systems, and dysfunctional processes.

Types/variations

Sales force automation

Sales force automation (SFA) involves using software to streamline all phases of the sales process, minimizing the time that sales representatives need to spend on each phase. This allows sales representatives to pursue more clients in a shorter amount of time than would otherwise be possible. At the heart of SFA is a contact management system for tracking and recording every stage in the sales process for each prospective client, from initial contact to final disposition. Many SFA applications also include insights into opportunities, territories, sales forecasts and workflow automation, quote generation, and product knowledge. Modules for Web 2.0 e-commerce and pricing are new, emerging interests in SFA.

Marketing

CRM systems for marketing help the enterprise identify and target potential clients and generate leads for the sales team. A key marketing capability is tracking and measuring multichannel campaigns, including email, search, social media, telephone and direct mail. Metrics monitored include clicks, responses, leads, deals, and revenue. This has been superseded by marketing automation and Prospect Relationship Management (PRM) solutions which track customer behaviour and nurture them from first contact to sale, often cutting out the active sales process altogether.

Customer service and support

Recognizing that service is an important factor in attracting and retaining customers, organizations are increasingly turning to technology to help them improve their clients’ experience while aiming to increase efficiency and minimize costs. Even so, a 2009 study revealed that only 39% of corporate executives believe their employees have the right tools and authority to solve client problems.“. The core for these applications has been and still is comprehensive call center solutions, including such features as intelligent call routing, computer telephone integration (CTI), and escalation capabilities.

Analytics

Relevant analytics capabilities are often interwoven into applications for sales, marketing, and service. These features can be complemented and augmented with links to separate, purpose-built applications for analytics and business intelligence. Sales analytics let companies monitor and understand client actions and preferences, through sales forecasting and data quality.
Marketing applications generally come with predictive analytics to improve segmentation and targeting, and features for measuring the effectiveness of online, offline, and search marketing campaign. Web analytics have evolved significantly from their starting point of merely tracking mouse clicks on Web sites. By evaluating “buy signals,” marketers can see which prospects are most likely to transact and also identify those who are bogged down in a sales process and need assistance. Marketing and finance personnel also use analytics to assess the value of multi-faceted programs as a whole.
These types of analytics are increasing in popularity as companies demand greater visibility into the performance of call centers and other service and support channels, in order to correct problems before they affect satisfaction levels. Support-focused applications typically include dashboards similar to those for sales, plus capabilities to measure and analyze response times, service quality, agent performance, and the frequency of various issues.

Integrated/Collaborative

Departments within enterprises — especially large enterprises — tend to function with little collaboration. More recently, the development and adoption of these tools and services have fostered greater fluidity and cooperation among sales, service, and marketing. This finds expression in the concept of collaborative systems which uses technology to build bridges between departments. For example, feedback from a technical support center can enlighten marketers about specific services and product features clients are asking for. Reps, in their turn, want to be able to pursue these opportunities without the burden of re-entering records and contact data into a separate SFA system. Owing to these factors, many of the top-rated and most popular products come as integrated suites.

Small business

For small business, basic client service can be accomplished by a contact manager system: an integrated solution that lets organizations and individuals efficiently track and record interactions, including emails, documents, jobs, faxes, scheduling, and more. These tools usually focus on accounts rather than on individual contacts. They also generally include opportunity insight for tracking sales pipelines plus added functionality for marketing and service. As with larger enterprises, small businesses are finding value in online solutions, especially for mobile and telecommuting workers.

Social media

Social media sites like Twitter, LinkedIn and Facebook are amplifying the voice of people in the marketplace and are having profound and far-reaching effects on the ways in which people buy. Customers can now research companies online and then ask for recommendations through social media channels, making their buying decision without contacting the company.
People also use social media to share opinions and experiences on companies, products and services. As social media is not as widely moderated or censored as mainstream media, individuals can say anything they want about a company or brand, positive or negative.
Increasingly, companies are looking to gain access to these conversations and take part in the dialogue. More than a few systems are now integrating to social networking sites. Social media promoters cite a number of business advantages, such as using online communities as a source of high-quality leads and a vehicle for crowd sourcing solutions to client-support problems. Companies can also leverage client stated habits and preferences to personalize and even “hyper-target” their sales and marketing communications.
Some analysts take the view that business-to-business marketers should proceed cautiously when weaving social media into their business processes. These observers recommend careful market research to determine if and where the phenomenon can provide measurable benefits for client interactions, sales and support. It is stated that people feel their interactions are peer-to-peer between them and their contacts, and resent company involvement, sometimes responding with negatives about that company.

Non-profit and membership-based

Systems for non-profit and membership-based organizations help track constituents and their involvement in the organization. Capabilities typically include tracking the following: fund-raising, demographics, membership levels, membership directories, volunteering and communications with individuals.
Many include tools for identifying potential donors based on previous donations and participation. In light of the growth of social networking tools, there may be some overlap between social/community driven tools and non-profit/membership tools.

Strategy

For larger-scale enterprises, a complete and detailed plan is required to obtain the funding, resources, and company-wide support that can make the initiative of choosing and implementing a system successful. Benefits must be defined, risks assessed, and cost quantified in three general areas:
  • Processes: Though these systems have many technological components, business processes lie at its core. It can be seen as a more client-centric way of doing business, enabled by technology that consolidates and intelligently distributes pertinent information about clients, sales, marketing effectiveness, responsiveness, and market trends. Therefore, a company must analyze its business workflows and processes before choosing a technology platform; some will likely need re-engineering to better serve the overall goal of winning and satisfying clients. Moreover, planners need to determine the types of client information that are most relevant, and how best to employ them.
  • People: For an initiative to be effective, an organization must convince its staff that the new technology and workflows will benefit employees as well as clients. Senior executives need to be strong and visible advocates who can clearly state and support the case for change. Collaboration, teamwork, and two-way communication should be encouraged across hierarchical boundaries, especially with respect to process improvement.
  • Technology: In evaluating technology, key factors include alignment with the company’s business process strategy and goals, including the ability to deliver the right data to the right employees and sufficient ease of adoption and use. Platform selection is best undertaken by a carefully chosen group of executives who understand the business processes to be automated as well as the software issues. Depending upon the size of the company and the breadth of data, choosing an application can take anywhere from a few weeks to a year or more.

Implementation

Implementation issues

Increases in revenue, higher rates of client satisfaction, and significant savings in operating costs are some of the benefits to an enterprise. Proponents emphasize that technology should be implemented only in the context of careful strategic and operational planning. Implementations almost invariably fall short when one or more facets of this prescription are ignored:
  • Poor planning: Initiatives can easily fail when efforts are limited to choosing and deploying software, without an accompanying rationale, context, and support for the workforce. In other instances, enterprises simply automate flawed client-facing processes rather than redesign them according to best practices.
  • Poor integration: For many companies, integrations are piecemeal initiatives that address a glaring need: improving a particular client-facing process or two or automating a favored sales or client support channel. Such “point solutions” offer little or no integration or alignment with a company’s overall strategy. They offer a less than complete client view and often lead to unsatisfactory user experiences.
  • Toward a solution: overcoming siloed thinking. Experts advise organizations to recognize the immense value of integrating their client-facing operations. In this view, internally-focused, department-centric views should be discarded in favor of reorienting processes toward information-sharing across marketing, sales, and service. For example, sales representatives need to know about current issues and relevant marketing promotions before attempting to cross-sell to a specific client. Marketing staff should be able to leverage client information from sales and service to better target campaigns and offers. And support agents require quick and complete access to a client’s sales and service history.

Adoption issues

Historically, the landscape is littered with instances of low adoption rates. In 2003, a Gartner report estimated that more than $1 billion had been spent on software that was not being used. More recent research indicates that the problem, while perhaps less severe, is a long way from being solved. According to CSO Insights, less than 40 percent of 1,275 participating companies had end-user adoption rates above 90 percent.
In a 2007 survey from the U.K., four-fifths of senior executives reported that their biggest challenge is getting their staff to use the systems they had installed. Further, 43 percent of respondents said they use less than half the functionality of their existing system; 72 percent indicated they would trade functionality for ease of use; 51 percent cited data synchronization as a major issue; and 67 percent said that finding time to evaluate systems was a major problem.[15] With expenditures expected to exceed $11 billion in 2010,[15] enterprises need to address and overcome persistent adoption challenges. Specialists offer these recommendations[14] for boosting adoptions rates and coaxing users to blend these tools into their daily workflow:
  • Choose a system that is easy to use: All solutions are not created equal. Some vendors offer more user-friendly applications than others, and simplicity should be as important a decision factor as functionality.
  • Choose the right capabilities: Employees need to know that time invested in learning and usage will yield personal advantages. If not, they will work around or ignore the system.
  • Provide training: Changing the way people work is no small task, and help is usually a requirement. Even with today’s more usable systems, many staffers still need assistance with learning and adoption
Lead by example: Showing employees that upper management fully supports the use of a new application by using the application themselves may increase the likelihood that employees will adopt the application.

konflik,strategi motivasi/ dinamika organisasi

Konflik dalam organisasi. Sama halnya dengan politik dalam organisasi, konflik dipandang sebagai konsep yang negatif dalam kajian organisasi dan manajemen. Kendati kerap disembunyikan, politik dan konflik sesungguhnya inheren di setiap organisasi, terlebih organisasi yang berskala besar. Kendati banyak memiliki dimensi genealogi yang mirip, politik dan konflik sesungguhnya dua konsep yang sebaiknya dibicarakan secara terpisah.

Politik lebih dipandang sebagai mekanisme penggunaan pengaruh dan kekuasaan dalam konteks organisasi. Konflik lebih dipandang sebagai fenomena yang bangkit akibat langkanya sumber daya dalam organisasi. Di satu sisi terdapat kelangkaan, di sisi lain tuntutan untuk memiliki atau menggunakan tinggi, terbitlah konflik. Organisasi sifatnya terbatas dalam sumber daya dan sebab itu, konflik adalah sesuatu yang inheren (melekat) dalam manajemen keseharian organisasi.

Konflik, sebagai konsep, telah banyak dikaji sehubungan dengan organisasi. Konflik juga memiliki akar, sesuatu yang mengakibatkan konflik bangkit. Konflik juga memiliki jenis-jenisnya sendiri. Konflik memiliki aneka fungsi, baik yang bersifat negatif ataupun positif terhadap organisasi. Di atas semua, konflik harus diakui sebagai ada dan sebaiknya digunakan demi mengembangkan organisasi bukan sebaliknya.

Pengertian Konflik Keorganisasian


Gareth R. Jones mendefinisikan konflik keorganisasian sebagai “perbenturan yang muncul kala perilaku untuk mencapai tujuan tertentu suatu kelompok dirintangi atau digagalkan oleh tujuan kelompok lain.” Karena tujuan, pilihan, dan kepentingan kelompok-kelompok pemangku kepentingan (stake holder) di dalam organisasi berbeda maka konflik adalah suatu yang tidak terelakkan di setiap organisasi. Kendati konflik kerap dipandang negatif, sama halnya dengan politik, tetapi Jones beranggapan bahwa beberapa jenis konflik mampu memberi kontribusi pada peningkatan efektivitas organisasi. Alasan Jones bahwa konflik punya kontribusi baik adalah, ia mengungkap kelemahan organisasi dan dalam upaya mengatasinya, konflik membawa pada pembelajaran dan perubahan organisasi.

M. Aflazur Rahim mendefinisikan konflik korganisasian sebagai “proses yang termanifestasi secara interaktif dalam hal ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau kejanggalan baik di dalam maupun antar entitas sosial seperti individu, kelompok, ataupun organisasi. Rahim menyebut konflik sebagai kondisi “interaktif” bukannya hendak membatasi kemungkinan konflik di dalam diri individu, di ama seseorang kerap pula mengalami konflik dengan dirinya sendiri.

Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks mendefinisikan konflik keorganisasian sebagai “... interaksi entitas-entitas yang saling bergantung yang menganggap perseberangan sasaran, niat, nilai dan yang menganggap entitas atau entitas-entitas lainnya sebagai penganggu yang potensial atas upaya realisasi dari sasaran ini. Dirks and Parks menekankan pada 3 konsep konflik yaitu interaksi, kesalingtergantungan, dan sasaran yang tidak cocok. Mereka juga menggariskan “entitas” bukan “orang”, karena konflik kerap melibatkan tidak hanya “orang” tetapi juga kelompok, tim, divisi, departemen, dan organisasi-organisasi bisnis.

Ricky W. Griffin andn Gregory Moorhead mendefinisikan konflik keorganisasian sebagai “ ... proses yang dihasilkan dari anggota 2 pihak bahwa mereka bekerja secara berseberangan antara satu sama lain dengan cara yang berakibat pada perasaan tidak nyaman dan atau permusuhan.” Keduanya menekankan bahwa konflik adalah “proses” bukan peristiwa yang berdiri sendiri, dan sebagai proses, konflik terus berlangsung dari waktu ke waktu. Mereka juga menekankan bahwa pihak-pihak yang terlibat harus menganggap proses perseberangan sebagai “ada”. Terakhir, ketidaknyamanan dan permusuhan juga harus muncul agar konflik dinyatakan ada, tetapi beda dengan pertandingan sepakbola antara 2 tim, di mana ini bukan konflik tetapi bersaing untuk menang.

Brooks mendefinisikan konflik keorganisasian sebagai “ ... menjadi jelas kala sekurangnya satu pihak menganggap bahwa konflik ada dan di mana kepentingan atau perhatian pihak tersebut terlemahkan atau terfrustasikan.” Konflik hadir antar individu, kelompok, atau departemen. Konflik biasa terjadi antar individu di departemen atau kelompok yang sama, antar pekerja di aneka tingkatan struktur organisasi, juga antara mereka yang punya tugas wewenang berbeda atapun kolega-kolega kerja mereka sendiri.

Kiranya, definisi konflik keorganisasian yang telah dipaparkan memiliki penekanan yang mirip. Pertama, adanya tujuan yang berseberangan atau terhalangi. Kedua, adanya pihak-pihak yang menganggap bahwa konflik ada, bisa individu, kelompok, tim, ataupun bagian-bagian di dalam organisasi terhadap sesamanya. Ketiga, konflik melibatkan rasa tidak nyaman dan permusuhan. Keempat, konflik dapat disikapi baik secara negatif maupun positif bagi perkembangan organisasi. Kelima, konflik adalah tidak terelakkan selama organisasi terus beroperasi dan terdiri atas entitas-entitas yang punya kepentingan dan tujuan masing-masing.

Model Konflik Keorganisasian


Model berguna untuk menyederhanakan yang rumit. Model didasarkan atas seperangkat konsep yang saling berjalin, atau dianggap saling berjalin, seputar suatu fenomena. Sebab itu, tidak cukup hanya satu model untuk menjelaskan peristiwa. Termasuk dalam masalah konflik.

Untuk menjelaskan masalah konflik, digunakanlah teori. Teori untuk menjelaskan konflik tidak hanya satu melainkan banyak. Teori-teori yang memiliki kesamaan lalu dikelompokkan ke dalam sebuah model. Model, sebab itu, merupakan pengelompokan sejumlah teori untuk menjelaskan suatu peristiwa, dalam hal ini : Konflik.

Louis A. Pondy menawarkan 3 buah model untuk menjelaskan konflik. Model-model tersebut adalah : (1) Model Bargaining; (2) Model Birokratik; dan (3) Model Sistem. Ketiga model ini punya dimensi penjelasan dan teori-teori yang berbeda dalam menjelaskan konflik.

Model Bargaining – Model ini didesain untuk menjelaskan konflik akibat persaingan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam memperebutkan sumber daya yang langka. Model ini secara khusus menganalisis hubungan pekerja-manajemen, proses penganggaran, dan konflik staf-pekerja.

Ukuran yang paling masuk akal bagi konflik-konflik potensial diantara sejumlah kelompok kepentingan adalah perbedaan antara tuntutan pihak yang bersaing dengan sumber daya yang tersedia. Resolusi konflik jenis ini adalah pengurangan tuntutan kelompok atau peningkatan sumber daya yang tersedia. Selain itu, anggaran juga merupakan konflik yang dijelaskan lewat model ini. Proses penganggaran modal adalah proses konflik yang dipicu persaingan antar departemen dalam memperebutkan dana.

Model Birokratik – Model ini diterapkan guna menjelaskan konflik atasan-bawahan atau, secara umum, konflik di sepanjang dimensi vertikal dalam hirarki organisasi. Model ini utamanya bicara seputar masalah yang muncul akibat upaya lembaga untuk mengendalikan perilaku dan reaksi organisasi terhadap kendali tersebut.

Konflik vertikal biasanya muncul akibat atasan berusaha mengendalikan perilaku bawahan, dan bawahan melawan kendali tersebut. Hubungan otoritas didefinisikan lewat seperangkat kegiatan bawahan terhadap mana bawahan harus mengalah pada legitimasi atasan untuk mengatur. Potensi konflik muncul tatkala atasan dan bawahan punya pengharapan berbeda seputar wilayah unik masing-masing. Bawahan lebih suka menganggap konflik tatkala upaya atasan menerapkan kendali atas kegiatan adalah di luar kewenangannya, sementara atasan menganggap konflik tatkala upayanya untuk mengendalikan dilawan.

Atasan lebih suka memandang perlawanan bawahan sebagai ketidaksukaan mereka atas penerapan kekuasaan personal. Reaksi birokratis atas perlawanan bawahan adalah substitusi aturan impersonal dengan kendali personal. Bawahan juga memandang upaya atasan mengatur sebagai pengurangan atas otonomi mereka. Ini terutama terjadi di dalam organisasi skala besar yang banyak melakukan delegasi wewenang. Kepentingan antara atasan dan bawahan menjadi sedemikian berbeda sehingga sasaran, kepentingan, atau cocoknya kebutuhan atasan-bawahan menjadi kurang mungkin.

Model Sistem – Model ini bicara tentang konflik lateral, atau konflik antar pihak yang punya fungsi berbeda. Analisis atas masalah koordinasi khusus dibicarakan oleh model ini. Konflik ini juga terjadi antara orang dengan level hirarki yang sama.

Jika model bargaining bicara tentang masalah persaiangan, model birokratik bicara soal msalah kendali, maka model sistemn bicara tentang masalah koordinasi. Misal, dua individu tiap-tiapnya bekerja pada posisi sama dalam organisasi dan memainkan peran formal dengan penghargaan atas lainnya. Jika turun suatu pekerjaan, maka masing-masing cenderung menganggap bahwa pekerjaan tersebut merupakan bagian dari tugas dan wewenangnya. Kala satu organ mengerjakan, orang lainnya menganggap sebagai pelanggaran “lapak” kerja.

Proses Konflik Keorganisasian


Louis A. Pondy mengidentifikasi empat jenis konflik, yaitu : (1) Latent Conflict; (2) Perceived Conflict; (3) Felt Conflict; (4) Manifest Conflik. Konflik-konflik tersebut beranjak dari awal (1) hingga yang terakhir (4).

Latent Conflict – Latent Conflict adalah konflik yang didasarkan atas tiga sumber yaitu : (1) persaingan memperebutkan sumberdaya yang langka; (2) kehendak untuk otonom atau berdiri sendiri, dan (3) perbedaan antara sasaran-sasaran yang dikendaki masing-masing unit dalam organisasi.

Persaingan membentuk dasar dari konflik kala tuntutan untuk memperoleh sumberdaya melebihi sumberdaya yang tersedia di dalam organisasi. Kebutuhan untuk otonom menjadi konflik salah satu pihak berupaya menerapkan kendali atas sejumlah kegiatan yang oleh pihak lain diakui sebagai miliknya. Perbedaan sasaran menjadi sumber konflik kala 2 pihak harus bekerja sama dalam sejumlah kegiatan tetapi tidak bisa meraih kesepakatan seputar tindakan apa yang harus diambil.

Dari Latent Conflict muncullah Model Konflik Peran. Model ini memperlakukan organisasi selaku koleksi dari seperangkat peran, yang masing-masing peran dipegang oleh seseorang dan orang yang memberikan peran tersebut. Konflik muncul kala pemegang peran menerima tuntutan peran yang bertentangan dengan peran yang tadinya ia perankan. Model ini menganggap pemegang peran selaku penerima pasif ketimbang partisipan aktif dalam hubungan. Model Konflik Peran menentukan hubungan konseptual, perangkat peran, yang berguna dalam menganalisis 3 bentuk Latent Conflict.

Perceived Conflict – Konflik kerap terjadi kendati tidak satupun kondisi Latent Conflict terjadi. Kondisi Latent Conflict bisa terjadi tanpa satupun peserta konflik merasakan bahwa konflik telah terjadi. Dalam kasus konflik dirasakan kala tidak satupun Latent Conflict ada, dijelaskan lewat Model Semantik Konflik. Menurut model ini, konflik merupakan hasil dari kesalahpahaman pihak satu dengan pihak lain seputar posisi yang sesungguhnya. Dengan demikian, konflik bisa diselesaikan dengan saling membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak. Model Semantik Konflik ini menjadi dasar bagi teknik-teknik manajemen yang luas dipakai dengan tujuan meningkatkan hubungan interpersonal.

Namun, sejumlah Latent Conflict yang gagal dimasukkan ke dalam level kesadaran juga patut diberi penjelasan. Dua mekanisme penting yang membatasi persepsi seputar konflik adalah Mekanisme Supresi dan Mekanisme Fokus Perhatian. Individu cenderung memblok konflik-konflik yang sedikit mengancam kesadarannya. Konflik baru menjadi ancaman besar, dan baru disadari, kala konflik-konflik tersebut bersangkutan dengan nilai inti yang dianut individu secara pribadi.

Mekanisme Supresi bisa diterapkan pada konflik-konflik yang berhubungan dengan pribadi/personal tinimbang nilai-nilai keorganisasian. Mekanisme Fokus Perhatian, sebaliknya, berhubungan dengan perilaku keorganisasian tinimbang nilai-nilai pribadi.

Felt Conflict – Ada beda penting antara konflik yang dianggap ada (Perceived Conflict) dengan konflik yang terasakan ada (Felt Conflict). Si A mungkin sadar bahwa B dan A berada dalam kondisi saling tidak setuju yang serius atas satu kebijakan yang sama, tetapi itu tidak membuat Si A tegang atau gelisah, dan kondisi ini tidak punya dampak seputar perasaan Si A terhadap Si B. Ini merupakan Perceived Conflict.

Personalisasi konflik adalah mekanisme yang menyebabkan pemikir-pemikir organisasi menekankan pada sifat disfungsi konflik. Ada dua penjelasan umum bagi personalisasi konflik. Pertama, penjelasan bahwa tuntutan atas efisiensi organisasi dan perkembangan individu tidak konsisten dan menciptakan kegelisahan di dalam diri individiu. Kegelisahan dihasilkan dari krisis identitas atau secara eksternal dari organisasi. Individu butuh pelepasan kegelisahan ini dalam rangka memelihara kesimbangan internalnya sendiri. Konflik keorganisasian dari 3 jenis Latent Conflict menyediakan alasan pembenar guna menggantikan kegelisahan ini dan si individu arahkan pada sasaran yang cocok. Dari titik ini berkembang Model Ketegangan (Tension Model).

Kedua, pejelasan bahwa konflik menjadi pribadi kala seluruh kepribadian individu terlibat di dalam hubungan. Rasa permusuhan adalah umum dalam hubungan-hubungan yang intim (akrab) yang mencirikan lembaga-lembaga seperti gereja, perguruan tinggi, dan keluarga. Guna menghilangkan permusuhan yang terakumulasi, lembaga secara keseluruhan membutuhkan insitusi pengaman seperti kegiatan atletik dan sanksi-sanksi. Felt Conflict muncul dari seluruh atau satu dari ketiga Latent Conflict, tetapi Latent Conflict menyediakan sasaran yang cocok bagi ketegangan-ketegangan yang tidak terarah.

Manifest Conflict – Konflik ini dimaksudkan bagi sejumlah perilaku konflik, nyata. Wujud konflik yang paling nyata adalah penyerangan terbuka, tetapi kekerasan fisik dan verbal biasanya diharamkan oleh norma organisasi. Kecuali kerusuhan penjara, revolusi politik, dan kisruh buruh yang ekstrim, kekerasan sebagai bentuk Manifest Conflict dalam organisasi adalah jarang.

Motivasi untuk berbuat kekerasan tetap ada, tetapi cenderung diekspresikan dalam bentuk yang lebih halus. Suatu kajian mendokumentasikan upaya terselubung untuk mensabotase atau memblok rencara pihak lawan lewat koalisi-koalisi yang agresif dan defensif. Para montir menunjukkan taktik-taktik konflik yang digunakan oleh partisipan organisasi level rendahan, seperti apatisme guna melawan para atasan mereka.

Keempat jenis konflik Pondy sekaligus merupakan rangkaian sebab, eskalasi, dan ujung dari episode suatu konflik. Agar lebih jelas, kami muat saja skema konseptual episode konflik Pondy ini :

Model teoritis Pondy kemudian banyak digunakan penulis-penulis konflik keorganisasian karena komprehensivitas dan ketelitiannya, dengan memandang konflik secara holistik, tidak spasial.

Penulis lain, misalnya Robert Edelmann, Henry L. Tosi and Neal P. Mero mengidentifikasi sejumlah faktor pemicu konflik. Faktor-faktor mereka kelompokkan ke dalam 3 kategori utama yaitu : (1) Perbedaan Karakter Individu; (2) Kondisi Situasional; dan (3) Kondisi Keorganisasian.

Perbedaan Karakter Individu – Perbedaan membuat orang yang satu lebih suka terlibat konflik tinimbang lainnya. Perbedaan nilai, keyakinan, dan sikap individu bisa jadi sumber konflik. Pekerja yang menilai tinggi otonomi dan kebebasan akan bereaksi negatif jika diawasi ketat dan dari dekat. Nilai juga menciptakan ketegangan antara individu dan kelompok di organisasi. Misal, pemimpin serikat buruh kiranya punya nilai berbeda dengan para manajer. Dalam satu riset, pemimpin serikat buruh menilai kesejahteraan dan kesetaraan pekerja leibh tinggi, tetapi rendah dalam memandang keuntungan perusahaan. Manajer justru punya penilaian sebaliknya.

Perbedaan karakter lain yang memicu konflik adalah kebutuhan dan kepribadian. Misal, sejumlah pabrik memproduksi barang bagi divisi lain dari perusahaan. Manajer pabrik bekerjasama untuk beberapa waktu tanpa kesulitan. Tatkalan manajer bersangkutan pensiun, penggantinya (berasal dari luar perusahaan) punya watak psikologis berbeda. Mereka ini lebih concern pada prestasi individu tinimbang kerjasama. Ketidaksetujuan antara manajer lama dan baru lalu muncul, dan kinerja sejumlah pabrik menurun.

Jika kita menganggap orang lain sebagai ancama, kita akan bertindak atas mereka dalam cara yang berpotensi konflik. Anggapan atas perbedaan dalam kekuasaan dan status juga kerap memicu konflik di dalam organisasi, sebagaimana seseorang merasa terancam oleh kekuasaan orang lain. Tipe konflik ini lebih kuat potensi kemunculannya tatkala situasi samar (tidak tentu) akibat kontribusi ambigu pada mispersepsi dan penilaian yang tidak tepat.

Kondisi Situasional – Kondisi yang ditemui pada situasi berbeda juga turut menyebabkan konflik. Perilaku konflik seseorang juga diakibatkan oleh sebab-sebab lingkungan. Konflik akan muncul tatkala orang dekat secara fisik, dan tatkala mereka butuh interaksi. Lewat interaksi yang tinggi, muncul kerumitan hubungan dan konflik pun potensial muncul. Interaksi adalah barang hidup di tiap organisasi, tetapi tidaklah interaksi itu harus memunculkan konflik.

Konflik juga merupakan fungsi tatkala persetujuan aneka pihak dibutuhkan. Misal, banyak pembelian organisasi bersifat rutin dan tidak butuh persetujuan aneka departemen, tetapi konsensus (kesepakatan) harus dibuat tatkala pembelian suatu item seperti komputer atau perlengkapan kantor yang digunakan oleh orang banyak. Konflik atas kualitas, biaya, atau lokasi dapat muncul tatkala tekanan untuk membuat konsensus terjadi.

Kondisi Keorganisasian – Tatkala sejumlah besar orang hadir bersama di suatu organisasi, banyak hal bisa memicu konflik. Konflik berakar pada peran dan tanggung jawab, kebergantungan, sasaran, kebijakan, dan sistem reward.

Penulis lain, misalnya David Cowan, secara lebih praktis mengidentifikasi 9 faktor pemicu konflik. Faktor-faktor tersebut adalah : (1) Kebutuhan Emosional Dasar, (2) Nilai dan Keyakinan Pribadi, (3) Ide, Opini, dan Isu, (4) Fakta dan Informasi, (5) Proses dan Metode, (6) Kesamaan dan Perbedaan, (7) Teritori, (8) Keterbatasan Sumber Daya, dan (9) Perubahan.

Kebutuhan Emosional Dasar – Kebutuhan ini melibatkan aspek perasaan seseorang di dalam organisasi. Sifatnya sangat subyektif dan internal di dalam diri anggota organisasi. Kebutuhan ini terdiri atas 3 jenis, yaitu : (1) Kebutuhan untuk dihargai dan dicintai; (2) Kebutuhan untuk mengendalikan; dan (3) Kebutuhan mencintai diri sendiri dan harga diri.

Kebutuhan untuk dihargai dan dicintai meliputi bagaimana kita berimajinasi seputara bagaimana pandangan orang lain terhadap kita. Jika kita yakin bahwa nilai kita dilemahkan di mata orang lain, segera kita menjadi tidak nyaman. Terjadi konflik internal berhubungan dengan bagaimana memulihkan nilai kita di mata orang lain. Misalnya, tatkala seorang pekerja dimarahi atasan di mata kolega, ia merasa turun harga dirinya, merasa tidak nyaman, dan bagaimana ia kembali memulihkan harga diri di mata orang. Ini menimbulkan konflik.

Kebutuhan untuk mengendalikan bermakna kebutuhan untuk mengendalikan dan menentukan nasib kita sendiri, termasuk perasaan bahwa kita punya pilihan dan bebas serta mampu membuat pilihan. Misal, kala suatu departemen diputuskan untuk bergabung dengan unit lain dalam suatu pekerjaan oleh manajemen puncak, pekerja di departemen tersebut akan merasa tercabut kendalinya atas produksi. Ini memicu konflik.
Kebutuhan untuk mencintai diri dan punya harga diri berhubungan dengan tingkat penghargaan diri seseorang. Segala sesuatu yang berakibat kita merasa tidak cukup atau tidak mampu dalam mencapai harapan, mengancam perasaan penting ini. Menariknya, pemilikan kemampuan untuk memanajemen konflik dan konfrontasi dalam hidup punya sumbangan besar atas kemampuan kita untuk mencintai dan berpikir baik seputar diri kita.

Nilai dan Keyakinan Personal – Saat kita berkembang, tiap kita mengembangkan seperangkat nilai dan keyakinan yang membentuk segala perilaku kita. Bilamana kita menganggap suatu peristiwa atau kondisi tidak selaras dengan salah satu nilai atau keyakinan kita, dita terdorong keluar dari “zona nyaman” kita dan mengalami konflik. Misal, seorang manajer yang suka mencandai perilaku para atas lalu mengalami teguran dari manajemen senior untuk menghentikan kebiasaan tersebut, si manajer akan mengalami konflik antara nilai dan keyakinan dirinya dengan otoritas.

Ide, Opini, dan Isu – Kita semua punya ide, ide lalu membentuk opini. Kadang secara optimis kita mengekspresikan opini dengan berkata “Saya pikir ...” atau “Kalau menurut saya .... “. Opini kita terbentuk lewat bahan mentah dari sistem keyakinan kita. Namun, terbentuknya opini dipengaruhi isu-isu yang tengah berkembang. Isu beredar dan ditanggapi minimal lewat 2 opini berbeda. Isu bisa sederhana juga bisa rumit. Misal, kala 2 yang menonton TV punya pendapat beda soal channel mana yang harus disetel, kita punya 1 isu dan 2 opini. Namun, kala debat politisi seputar reformasi kesehatan, kita punya 1 isu utama, ribuan sub-isu, dan puluhan ribu opini.

Opini dan isu adalah lokus terbaik menemukan konflik. Kita pasti mengingat kapan opini kita ditanggapi berbeda oleh orang lain, bahkan diserang. Adanya opini berseberangan tersebut menghasilkan konflik. Keseriusannya ditandai kuatnya faktor emosi yang mendukung opini tersebut.

Fakta dan Informasi – Sejak kita melihat dan menafsirkan sesuatu yang unik, persepsi kita seputar “fakta” mungkin beda dengan persepsi orang lain. Kerap, apa yang dikatakan fakta adalah opini. Kerap juga, fakta tidak lengkap dan informasi tidak tersedia.

Proses dan Metode – Jarang hanya ada 1 cara melakukan sesuatu. Sejak proses dan metode mempengaruhi hasil, orang cenderung mempertahankannya. Bahkan, isu remeh seperti memilih jalur tatkala berkendaraan yang kita anggap paling cepat, dan kita anggap terbukti, akan terus kita pertahankan kendati macet. Sebab itu, perubahan proses dan metode di dalam organisasi akan menimbulkan konflik bagi para pendukungnya.

Kesamaan dan Perbedaan – Keragaman akan melahirkan konflik. Orang berbeda nilai kebajikan dan sistem keyakinan, sifat manusia, dan respon atas kondisi. Dengan kata lain, bergantung pada “siapa mereka.”

Turf – Kita belajar seputar penguasaan wilayah dari pengalaman terdahulu dalam organisasi. Secara kolektif, ukuran dan teritori menghasilkan “turf”. Sejumlah budaya menempatkan tinggi ukuran kesuksesan, dari sisi material atau imaterial. Kala anjing tetangga menemukan tempat bermain nyama di halaman kita, kita merasakan gangguan atas “turf” berupa teritori. Kejadian pemboman WTC tahun 2001 merupakan gangguan atas teritori bangsa Amerika Serikat.

Keterbatasan Sumber Daya – Organisasi tidak pernah bisa mencukupi segala sesuatu bagi setiap anggota. Sumber daya terbatas, sebab itu harus dialokasi, dan proses penentuan siapa dapat apa memunculkan konflik. Sebagaimana kita bersaing untuk beroleh sumberdaya, kita secara otomatis terpancing dalam kondisi menang-kalah.

Perubahan – Perubahan bersifat tetap. Setiap organisasi terus-menerus berubah, dan setiap individu punya persoalan dengan perubahan baik di level pribadi ataupun profesional. Introduksi perubahan jika disesuaikan oleh individu tidak mengapa, tetapi tatkala dilawan maka timbulah konflik hingga orang tersebut menyerah pada keadaan yang berubah.

Efek Konflik Keorganisasian


Konflik ibarat pisau bermata dua: Ia punya efek negatif dan positif bagi perkembangan organisasi. Efek ini terutama berkenaan dengan para individu yang menjadi anggota organisasi, dari level bawah hingga level atas. Identifikasi atas efek negatif dan positif ini mudah-mudahan membawa kita lebih mampu memanajemen konflik demi kepentingan diri kita sendiri.

Robert J. Edelmann membagi efek konflik ke dalam 2 kategori yaitu efek negatif dan efek positif. Rincian dari masing-masing efek sebagai berikut :

Efek Negatif. Efek negatif dari konflik bisa berlingkup baik pada level individu ataupun organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak kinerja organisasi sekaligus unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level individu, konflik merusak dalam bentuk tertekannya pekerja. Berikut adalah rincian efek negatif konflik keorganisasian:
  • Reaksi umum atas konflik misalnya ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai.
  • Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur dan mual merupakan peringatan awal yang jika tidak disikapi serius berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Apalagi punya pola makan tidak sehat, bisa kolesterol.
  • Tanda perilaku yang meliputi membuang diri dari pergaulan, penggunaan alkohol yang berlebih, merokok seperti “kereta api” (kelepas-kelepus), yang semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan.
  • Lingkaran setan konflik berujung pada stress, yang kemudian mendorong terbitnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja. Ini juga berdampak pada peningkatan konflik.

Efek Positif – Konflik juga punya efek positif di tataran individu. Bahkan, konflik sesungguhnya lebih punya efek positif tinimbang negatif. Rincian efek positif konflik bisa kami ceritakan sebagai berikut ini :
  • Memperkuat hubungan. Dua orang yang mampu mengenali perbedaan akibat konflik, kenapa perbedaan muncul, dan berdiskusi guna menyelesaikannya.
  • Meningkatnya kepercayaan. Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik, mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang dengan mengetahui bahwa perbedaan bisa diselesaikan.
  • Peningkatan harga diri. Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan harga diri dari tiap pihak yang bertikai.
  • Penguatan kreativitas dan produktivitas. Konflik jika dimanajemen secara baik merupakan kondisi yang memungkinkan kreativitas dan diskusi antar orang dengan kepentingan berbeda, dan ujungnya peningkatan produktivitas.
  • Kepuasan kerja. Orang butuh sejumlah perangsang dan menggunakan pengalaman dalam hal penaikan dan penurunan ketegangan, dalam rangka meraih kepuasan kerja.

Penulis lain seperti M. Afzalur Rahim membagi efek konflik organisasi menjadi 2 yaitu : (1) Disfungsi dan (2) Fungsi. Rincian dari pendapat Rahim seputar Disfungsi Konflik adalah :
  • Konflik mengakibatkan stress kerja, perasaan terbakar, dan ketidakpuasan.
  • Komunikasi antar inidividu dan kelompok menjadi berkurang.
  • Iklim ketidakpercayaan dan kecurigaan berkembang.
  • Hubungan antar orang tercederai.
  • Kinerja pekerjaan berkurang.
  • Perlawanan atas perubahan meningkat.
  • Komitmen dan kesetiaan organisasi akan terpengaruh.

Selain itu, Rahim menyebut adalah pula Fungsi Konflik, yaitu :
  • Konflik merangsang inovasi, kreativitas, dan perubahan.
  • Proses pembuatan keputusan dalam organisasi akan terimprovisasi.
  • Solusi alternatif atas satu masalah akan ditemukan.
  • Konflik membawa solusi sinergis bagi masalah bersama.
  • Kinerja individu dan kelompok akan lebih kuat.
  • Individu dan kelompok dipaksa untuk mencari pendekatan baru atas masalah.
  • Individu dan kelompok perlu lebih mengartikulasi dan menjelaskan posisi mereka.

Manajemen Konflik


Jika konflik terjadi, apa yang kemudian dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini berujung pada pola manajemen konflik. Bagaimana sikap pihak yang berkonflik atas konflik yang terjadi? Taksonomi 2 dimensi yang dikembangkan Thomas Ruble and Kenneth Thomas tahun 1976 relatif paling mudah dipahami. Ruble dan Thomas mengidentifikasi 5 jenis penanganan konflik yaitu : (1) Forcing; (2) Collaborating; (3) Compromising; (4) Avoiding; dan (5) Accomodating. Modelnya ada sebagai berikut :

Taksonomi penanganan konflik Ruble and Thomas terdiri atas garis X dan garis Y. Garis X mewakili variabel Kerjasama (Cooperating) yaitu upaya memuaskan kepentingan orang lain. Garis Y adalah variabel Ketegasan (Assertiveness) yaitu upaya memuaskan kepentingan diri sendiri. Limit terendah Ketegasan adalah Tidak Tegas, sementara limit tertingginya Tegas. Di sisi lain, limit terendah Kerjasama adalah Tidak Kerjasama, dan limit tertingginya Kerjasama.

Avoiding – Satu pihak menolak bahwa konflik itu ada, mengubah topik, dan menghindari diskusi-diskusi, seraya tidak memperlihatkan komitmen penyelesaian. Gaya ini efektif dalam situasi dimana terdapat bahaya penyerangan fisik, isu tidak penting, tidak atas kesempatan mencapai tujuan, atau kerumitan situasi yang membutuhkan solusi.

Avoiding (penghindaran) konflik punya keuntungan dalam hal pemeliharaan hubungan, dalam mana hubungan akan terluka lewat penyelesaian konflik. Kerugiannya gaya ini adalah konflik tidak akan selesai. Penggunaan berlebih gaya ini mendorong munculnya konflik internal dalam diri individu yang melakukannya. Orang cenderung meremehkan si penghindar. Manajer mengizinkan pekerja melanggar aturan tanpa mengkonfrontasinya. Penghindaran masalah biasanya bukan menyelesaikan masalah melainkan malah menambahnya. Semakin lama kita menunggu konfrontasi dengan orang lain, semakin sulit konfrontasi yang terjadi nantinya.

Accomodation – Satu pihak mengorbankan kepentingannya dan memperlihatkan concern dengan membiarkan pihak lain mencapai kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi dimana tidak terdapat kesempatan yang banyak bagi seseroang dalam mencapai kepentingannya, kala hasilnya tidak penting, atau kala ada keyakinan bahwa memuaskan kepentingan dirinya akan mencederai hubungan.

Keuntungan gaya akomodasi adalah, hubungan terpelihara dengan melakukan sesuatu hal dengan cara orang lain. Kerugiannya adalah “penyerahan” pada orang lain malah kontraproduktif. Orang yang melakukan pengakomodasian mungkin punya solusi yang lebih baik. Penggunaan berlebih gaya ini cenderung memberi kesempatan orang lain mengambil keuntungan dari si akomodator.

Compromising – Lewat konsesi seluruh pihak, tiap pihak siap hanya mencapat setengah kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi yang membutuhkan penyelesaian cepat seputar masalah, kala pihak lain menolak berkolaborasi (kerjasama), kala pencapaian sasaran secara mutlak tidak penting, atau kala tidak ada yang perlu dikhawatirkan apakah kepentingan tercapai seluruhnya atau sebagiannya saja.

Keuntungan gaya ini adalah, konflik diselesaikan secara relatif cepat dan hubungan kerja tetap terpelihara. Kerugiannya adalah, si kompromis kerap menghasilkan hasil yang kontraproduktif, seperti keputusan yang tidak optimal. Penggunaan berlebih gaya ini membuat orang kerap bertanya dua kali dalam rangka memenuhi kepentingannya. Gaya ini biasa digunakan dalam hubungan manajemen-buruh.

Forcing – Gaya ini dicirikan agresivitas, fokus diri sendiri, pemaksaan, ketegasan lisan, dan perilaku tidak kerjasama guna mencapai tujuan yang ditampakan oleh satu pihak dengan mengalahkan kepentingan pihak lain. Gaya ini efektif dalam situasi dimana keputusan harus dibuat secara cepat, pilihan terbatas, tidak khawatir mengorbankan, pihak lain menolak kerjasama, dan tidak ada perhatian memadai atas kerusakan potensial dalam hubungan.

Keuntungan gaya Forcing adalah keputusan organisasi yang lebih baik akan terjadi, kala si pemaksa benar, ketimbang keputusan yang kompromistik yang kurang efektif. Kerugiannya dari penggunaan gaya forcing yang berlebihan mendorong permusuhan dan perlawanan terhadap si pengguna. Pemaksa cenderung punya hubungan buruk dengan pihak lain.

Collaborating – Gaya ini dicirikan lewat pendengar aktif dan fokus pada isu, komunikasi empatik yang mencari pemuasan kepentingan dan perhatian setiap pihak. Gaya ini efektif dalam situasi dimana kekuasaan secara relatif berimbang, hubungan jangka panjang dihargai, tiap pihak menampakkan perilaku kooperatif, dan terdapat cukup waktu dan energi guna membuat solusi integratif yang memuaskan semua pihak.

Keuntungan gaya ini adalah kecenderungannya membawa pada solusi terbaik dari konflik, menggunakan perilaku yang tegas. Kerugiannya adalah, keahlian, upaya, dan waktu dibutuhkan guna menyelesaikan konflik adalah lebih besar dan lebih lama tinimbang gaya lainnya.

Kapan situasi terbaik untuk menerapkan masing-masing gaya manajemen konflik? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kami muat bagan dari John Hayes sebagai berikut :

Kuesioner Gaya Penanganan Konflik


Jika ada di antara mahasiswa yang menyusun skripsi atau penelitian, alat ukur penanganan konflik sudah ada yang “ready made”. Bahkan, ia disusun oleh Thomas Ribl and Kenneth Thomas sendiri, dua orang yang membuat taksonomi di atas. Berikut kuesioner dan metode penafsirannya :

Kuesioner : Apakah Gaya Penanganan Konflik Saya ?

Instrumen :

Kala mengalami perbedaan dengan seseorang, bagaimana respon anda?
Gunakan skala peringkat berikut guna mencatat jawaban anda:

1 = Hampir Tidak Pernah
2 = Pernah Satu Kali
3 = Kadang-kadang
4 = Agak Sering
5 = Sangat Sering

Cara Penskoran:

Untuk menghitung skor penanganan konflik anda, jumlahkan total tiap-tiap kelima kategori. Item-item berdasarkan kategori didaftar di bawah ini :

Analisis dan Penafsiran :

  • Forcing
    Hasrat untuk memuaskan kehendak sendiri tanpa memandang dampaknya pada pihak lain yang berkonflik. Itemnya nomor 1, 6, 11 dan 16.
  • Collaborating
    Dimana pihak yang berkonflik masing-masing berkeinginan untuk memuaskan kepentingan semua pihak yang bertikai. Itemnya nomor : 5, 10, 15 dan 20.
  • Avoiding
    Hasrat untuk menghindar dan menekan konflik ke dalam diri sendiri. Itemnya nomor : 4, 9, 14, dan 19.
  • Accomodating
    Kehendak satu pihak yang berkonflik untuk menempatkan kepentingan pihak lain di atas kepentingannya sendiri. Itemnya nomor: 2, 7, 12, dan 17.
  • Compromising
    Dimana tiap pihak yang berkonflik hendak berkompromi, saya dapat setengah, dia dapat setengah. Itemnya nomor: 3, 8, 13, dan 18.

Skor anda untuk tiap kategori berkisar antara 4 hingga 20. Skor tertinggi tiap kategori menandari gaya penanganan konflik anda. Terbesar kedua adalah gaya sekunder anda. Idealnya, kita menyesuaikan penanganan konflik sesuai dengan situasi.

----------------------------------------------

Sumber Rujukan :


  • David A. Whetten and Kim S. Cameron, Developing Management Skill, 7th Edition (Delhi: Dorling Kindersley (India) Pvt. Ltd., 2008)
  • David Cowan, Taking Charge of Organizational Conflict: A Guide to Managing Anger and Confrontation (Fawnskin, California: Personhood Press, 2003)
  • Gareth R. Jones, Organizational Theory, Design, and Change, 5th Edition (New Delhi: Dorling Kindersley, 2009)
  • Henry L Tosi and Neal P. Mero, The Fundamentals of Organizational Behavior: What Managers Need to Know (Malden, Massachussetts: Blacwell Publishing, 2003)
  • Ian Brooks, Organisational Behaviour: Individuals, Groups, and Organisations, 3rd Edition (Delhi: Dorling Kindersley, 2006)
  • John Hayes, Interpersonal Skills at Work, 2nd Edition (New York: Routledge, 2002)
  • Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks, “Conflicting Stories: The State of the Science of Conflict” dalam Jerald Greenberg, ed., Organizational Behavior: The State of the Science, 2nd Edition ( Mahwah, New Jersey: Taylor & Francis e-Library, 2008)
  • Louis R. Pondy, “Organizational Conflict: Concepts and Models” dalam Harold J. Leavitt, Louis R. Pondy, and David M. Boje, eds., Readings in Managerial Psychology, 4th Edition (Chicago: The University of Chicago Press, 1989)
  • M. Afzalur Rahim, Managing Conflict in Organizations, 4th Edition (New Jersey: Transaction Publishers, 2011)
  • Myra Warren Isenhart and Michael Spangle, Collaborative Approaches to Resolving Conflict (Thousand Oaks, California: Sage Publication, 2000)
  • Ricky W. Griffin and Gregory Moorhead, Organizational Behavior: Managing People and Organizations, 9th Edition (Mason, Ohio: South-Western, 2010)
  • Robert N. Lussier and Christopher F. Achua, Leadership: Theory, Application & Skill Development (Mason: Ohio: South-Western Cengage Learning, 2010)
  • Stephen P. Robbins, Self Assessment Library 3.4.: Insight Into Your Skills, Interests, and Abilities (New Jersey: Pearson Education, Inc., 2009)
  • V.G. Kondalkar, Organization Effectiveness and Change Management, (New Delhi: PHI Learning Private Limited, 2009) 
Mungkin tanpa disadari dalam keseharian hidup kita sebenarnya berada dalam proses pembelajaran. Setiap kejadian yang menimpa kita dan orang lain merupakan pengalaman hidup. Idealnya, kalau yang memiliki daya kritis, setiap kejadian akan mendorong dirinya untuk bertanya. Antara lain dalam bentuk “apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa itu sampai terjadi? Apa akibat-akibat yang timbul pada diri sendiri dan lingkungan? Bagaimana mengatasi masalahnya?”, dst. Semua rangkaian pertanyaan dan informasi yang dihasilkan serta tindakan-tindakan yang berkait dengan itu merupakan ciri pembelajaran dari seseorang. Istilah filosofinya, “pengalaman adalah guru terbaik…….belajarlah dari pengalaman”. Namun belum tentu semua orang berperilaku seperti itu.  Dengan kata lain tidak peduli pada apa yang telah dialaminya. Tidak ada dorongan untuk menelaahnya. Lalu apakah itu bisa juga terjadi pada suatu perusahaan?
Sebagai organisasi, perusahaan terdiri dari kumpulan orang yang bekerjasama secara teratur dan terencana di bawah koordinasi seorang pemimpin untuk mencapai tujuan tertentu. Seperti juga individu manusia, perusahaan pun belum tentu semuanya sebagai organisasi pembelajaran (learning organization). Ada perusahaan yang aktifitasnya hanya sebatas rutin saja. Sementara perusahaan lain beraktifitas tidak sekedar berorientasi rutin tetapi juga pada pengembangan. Yakni seperti yang diungkap Peter Senge, bahwa organisasi pembelajaran merupakan “The Bottom Line:  Any organization that has a culture and structure that promotes learning at all levels to enhance its capabilities to produce, adapt and shape its future”. Batasan itu bisa juga disetarakan sebagai prinsip dasar bagaimana suatu organisasi pembelajaran dapat dibentuk dan dikembangkan.
Dalam hal ini organisasi pembelajaran ditunjukan oleh adanya individu-individu yang memiliki ciri-ciri: upaya untuk memperkuat kepribadian yang obyektif, meneliti dengan cermat asumsi-asumsi dan gambaran dunia bisnis, menciptakan gambaran masa depan yang baru, menciptakan kapasitas untuk berpikir bersama dalam suatu tim, dan berpikir secara sistem sehingga terjadi interelasi antara pengetahuan dan alat pencapai tujuan. Dengan demikian dalam organisasi pembelajaran terjadi proses pemberian kesempatan kepada setiap karyawan untuk belajar secara bersinambung. Pembelajaran itu dimaksudkan untuk digunakan dalam mencapai tujuan individu dan organisasi. Karena itu ada keterkaitan antara tujuan atau kinerja individu dengan kinerja perusahaan. Semuanya diperkuat dengan adanya proses berbagi informasi dan tugas, dan kalau toh ada perbedaan-perbedaan justru dimanfaatkan untuk mengembangkan kreatifitas.
Bagaimana mewujudkan perusahaan sebagai organisasi pembelajaran? Langkah-langkah yang bisa diterapkan antara lain meliputi:
(1).      Tidak mungkin organisasi pembelajaran akan terbentuk kalau tidak ada dukungan manajemen puncak. Karena itu manajemen puncak harus mengembangkan budaya organisasi di kalangan manajemen dan karyawannya. Dan ini tercermin dari sosialisasi dan internalisasi tentang visi, misi, tujuan, dan strategi-kebijakan perusahaan. Pembudayaan antara lain dalam aspek-aspek budaya belajar, budaya mutu kinerja, budaya komitmen, dan budaya akuntabilitas harus sudah dimulai sejak tahap proses rekrutmen karyawan baru.
(2).     Pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia berbasis kompetensi menjadi hal yang sangat pokok dalam pembentukan dan pengembangan organisasi pembelajaran. Pelatihan lebih ditekankan pada penguatan domain pengetahuan, sikap dan ketrampilan karyawan. Sementara pengembangan lebih difokuskan pada partisipasi dan otonomi dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Dengan kapabilitasnya, karyawan diharapkan selalu siap berinovasi dan beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi.
(3).     Pengembangan umpan balik di semua lini. Proses ini terjadi pada tataran horisontal sesama rekan kerja. Dan vertikal antara atasan dan subordinasi dan sebaliknya. Umpan balik ini merupakan salah satu sisi pembelajaran kontinyu yang utamanya ditujukan untuk memperkuat   daya kritis dan kreatifitas karyawan dalam memberikan masukan yang berharga bagi pengembangan organisasi. Disinilah para karyawan diajak berperanserta secara aktif dalam mengevaluasi dan merumuskan program dan indikator kinerja perusahaan berikut aspek-aspeknya.
(4).     Penyediaan dan pengembangan sistem informasi dan manajemen mulai dari subsistem pengumpulan data, pengolahan, analisis, dan pelaporan, penyimpanan,  serta penyebarluasan laporan ke seluruh unit organisasi. Sistem ini sangat berguna untuk mengembangkan beragam pemikiran atau gagasan-gagasan inovasi baik bersifat lunak maupun keras dalam suatu perencanaan strategis. Dengan demikian sumberdaya perusahaan (manusia, sistem, dan fisik) dapat terus dikembangkan dalam suatu proses pembelajaran secara berkelanjutan.
Suatu perusahaan yang tidak menerapkan prinsip-prinsip dasar organisasi pembelajaran sama saja mengabaikan berbagai pengaruh eksternal dan pentingnya suatu organisasi memperkuat dirinya.  Berarti pula perusahaan tidak mendorong terjadinya pengembangan komitmen dan kapasitas karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan. Padahal suatu organisasi pembelajaran yang  memiliki daya saing tinggi dicirikan oleh sumberdaya manusia yang unggul dan terus dikembangkan secara terencana. Dan ini ada kaitannya dengan kebutuhan perusahaan untuk mengembangkan dirinya sebagai organisasi pembelajaran karena dunia bisnis sudah semakin mengglobal yakni kompleks, dinamis, dan kompetitif.

Tuesday 15 March 2011

TIPE & BENTUK ORGANISASI STRUKTUR / SKEMA ORGANISASI

TIPE , BENTUK , STRUKTUR / SKEMA ORGANISASI

MUKHAMAD SOLIKHUL HUDA
1DB03
34110853
JURUSAN D3 MANAJEMEN INFORMATIKA

MATA KULIAH : ORGANISASI DAN METODE #

1.TIPE-TIPE ORGANISASI
Secara garis besar organisasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu organisasi formal dan organisasi informal. Pembagian tersebut tergantung pada tingkat atau derajat mereka. Namun dalam kenyataannya tidak ada sebuah organisasi formal maupun informal yang sempurna.

1.1.ORGANISASI FORMAL
Organisasi formal memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, yang menerangkan hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung jawabnya. Struktur yang ada juga menerangkan bagaimana bentuk saluran-saluran melalui apa komunikasi berlangsung. Kemudian menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Hierarki sasaran organisasi formal dinyatakan secara eksplisit. Status, prestise, imbalan, pangkat dan jabatan, serta prasarat lainya terurutkan dengan baik dan terkendali. Selain itu organisasi formal tahan lama dan mereka terencana dan mengingat bahwa ditekankan mereka beraturan, maka mereka relatif bersifat tidak fleksibel. Contoh organisasi formal ádalah perusahaan besar, badan-badan pemerintah, dan universitas-universitas (J Winardi, 2003:9).

1.2.ORGANISASI INFORMAL
Keanggotaan pada organisasi-organisasi informal dapat dicapai baik secara sadar maupun tidak sadar, dan kerap kali sulit untuk menentukan waktu eksak seseorang menjadi anggota organisasi tersebut. Sifat eksak hubungan antar anggota dan bahkan tujuan organisasi yang bersangkutan tidak terspesifikasi. Contoh organisasi informal adalah pertemuan tidak resmi seperti makan malam bersama. Organisasi informal dapat dialihkan menjadi organisasi formal apabila hubungan didalamnya dan kegiatan yang dilakukan terstruktur dan terumuskan. Selain itu, organisasi juga dibedakan menjadi organisasi primer dan organisasi sekunder menurut Hicks:
1.2.1.Organisasi Primer, organisasi semacam ini menuntut keterlibatan secara lengkap, pribadi dan emosional anggotanya. Mereka berlandaskan ekspektasi rimbal balik dan bukan pada kewajiban yang dirumuskan dengan eksak. Contoh dari organisasi semacam ini adalah keluarga-keluarga tertentu.
1.2.2.Organisasi Sekunder, organisasi sekunder memuat hubungan yang bersifat intelektual, rasional, dan kontraktual. Organisasi seperti ini tidak bertujuan memberikan kepuasan batiniyah, tapi mereka memiliki anggota karena dapat menyediakan alat-alat berupa gaji ataupun imbalan kepada anggotanya. Sebagai contoh organisasi ini adalah kontrak kerjasama antara majikan dengan calon karyawannya dimana harus saling setuju mengenai seberapa besar pembayaran gajinya.

1.3.TIPE ORGANISASI BERDASARKAN SASARAN POKOK MEREKA
Organisasi yang didirikan tentu memiliki sasaran yang ingin dicapai secara maksimal. Oleh karenanya suatu organisasi menentukan sasaran pokok mereka berdasarka kriteria-kriteria organisasi tertentu. Adapun sasaran yang ingin dicapai umumnya menurut
J Winardi adalah:

1.Organisasi berorientasi pada pelayanan (service organizations), yaitu organisasi yang berupaya memberikan pelayanan yang profesional kepada anggotanya maupun pada kliennya. Selain itu siap membantu orang tanpa menuntut pembayaran penuh dari penerima servis.
2.Organisasi yang berorientasi pada aspek ekonomi (economic organizations), yaitu organisasi yang menyediakan barang dan jasa sebagai imbalan dalam pembayaran dalam bentuk tertentu.
3.Organisasi yang berorientasi pada aspek religius (religious organizations)
4.Organisasi-organisasi perlindungan (protective organizations)
5.Organisasi-organisasi pemerintah (government organizations)
6.Organisasi-organisasi sosial (social organizations)

2.BENTUK-BENTUK ORGANISASI
2.1.ORGANISASI POLITIK
Organisasi politik adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu kenegaraan, secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa tersebut. Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.
Organisasi politik merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berkepentingan dalam pembentukan tatanan sosial pada suatu wilayah tertentu oleh pemerintahan yang sah. Organisasi ini juga dapat menciptakan suatu bentuk struktur untuk diikuti.
2.2.ORGANISASI SOSIAL
Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
2.3.ORGANISASI MAHASISWA
Organisasi mahasiswa adalah organisasi yang beranggotakan mahasiswa. Organisasi ini dapat berupa organisasi kemahasiswaan intra kampusorganisasi kemahasiswaan ekstra kampus, maupun semacam ikatan mahasiswa kedaerahan yang pada umumnya beranggotakan lintas-kampus. Sebagian organisasi mahasiswa di kampus Indonesia juga membentuk organisasi mahasiswa tingkat nasional sebagai wadah kerja sama dan mengembangkan potensi serta partisipasi aktif terhadap kemajuan Indonesia, seperti organisasi Ikahimbi dan ISMKI. Di luar negeri juga terdapat organisasi mahasiswa berupa Perhimpunan Pelajar Indonesia, yang beranggotakan pelajar dan mahasiswa Indonesia.
2.4.ORGANISASI OLAHRAGA
Organisasi olahraga adalah organisasi yang berisikan berbagai macam cabang olahraga.


2.5.ORGANISASI SEKOLAH
Organisasi sekolah adalah organisasi yang dibentuk atas inisiatif siswa maupun guru disuatu sekolah , seperti OSIS , koperasi sekolah,dll.
2.6.ORGANISASI NEGARA
Organisasi negara adalah struktur goverment pemerintahan di suatu negara  yang menentukan jalanya pemerintahan dengan lancar.

3.STRUKTUR / SKEMA ORGANISASI
Struktur / Skema Organisasi adalah susunan dan hubungan-hubungan antar komponen bagian-bagian dan posisi-posisi dalam suatu organisasi, komponen-komponen dalam tiap organisasi memiliki ketergantungan. Sehingga jika suatu komponen baik. Maka akan berpengaruh pada komponen lainnya dan organisasi tersebut.

Menurut Keith Davis ada 6 bagan bentuk struktur organisasi yaitu :
1.Bentuk Vertikal
Dalam bentuk ini, sistem organisasi pimpinan sampai organisasi atau pejabat yang lebih rendah digariskan dari atas ke bawah secara vertikal.
2.Bentuk Mendatar / Horizontal
Dalam bentuk ini, saluran wewenangnya dari pucuk pimpinan sampai dengan satuan organisasi atau pejabat yang terendah disusun atau digariskan dari kiri kea rah kanan atau sebaliknya.
3.Bentuk Lingkaran
Dalam bentuk lingkaran, saluran wewenangnya dari pucuk pimpinana sampai dengan satuan organisasi atau pejabat yang terendah disusun dari pusat lingkaran ke aarah bidang lingkaran.
4.Bentuk Setengah Lingkaran
Dalam bentuk ini, saluran wewenang dari pucuk pimpinan sampai dengan satuan organisasi atau pejabat yang terendah disusun dari pusat lingkaran kea rah bidang bawah lingkaran atau sebaliknya



5.Bentuk Elliptical
Dalam bentuk ini, saluran wewenangnya dari pucuk pimpinan sampai dengan satuan organisasi atau pejabat yang terendah digambarkan dengan pusat Elips kearah bidang elips
6.Bentuk Piramid terbalik
Dalam bentuk ini, saluran wewenang dari pucuk pimpinan sampai dengan organisasi atau pejabat terendah digambarkan dalam susunan berbentuk piramid terbalik.

Macam-macam Skema Organisasi:
  1. Berdasarkan teknik atau cara membuatnya:
    1. Skema organisasi Tegak Lurus dari atas kebawah
    2. Skema organisasi Mendatar dari kiri kekanan
    3. Skema organisasi gabungan Tegak Lurus dan Mendatar
    4. Skema Organisasi Lingkaran
    5. Skema Organisasi Gambar
  2. Berdasarkan isi atau fungsi didalamnya:
    1. Skema Organisasi Fungsional:
      Menjelaskan tentang letak dari fungsi-fungsi tugas dalam hubungannya dengan fungsi-funsi yang lain.
    2. Skema Organisasi Jabatan
      Menjelaskan tentang garis wewenang yang harus dianut sesuai dengan jabatan masing-masing.
    3. Skema Organisasi Nama
      Menjelaskan tentang garis wewenang yang harus dianut sesuai dengan nama-nama para pejabat yang bersangkutan.
    4. Skema Organisasi Nama dan Jabatan
      Menggabungkan antara masing-masing jabatan dengan masing-masing nama para pejabat dalam suatu organisasi.
    5. Skema Organisasi Struktur
      Menjelaskan tingkatan jenjang antara unit-unit dalam organisasi tersebut.

SISTEM PERILAKU ORGANISASI

  • ORGANISASI SEBAGAI SEBUAH SISTEM
Definisi sederhana dari organisasi adalah suatu kelompok orang yang mempunyai
tujuan yang sama. Tujuan merupakan hasil yang berupa barang, jasa, uang, pengetahuan
dan lain – lain. Tujuan disini dapat di definisikan sebagai output, dan untuk menjadi output
di perlukan input. Input dapat berupa raw material, sumber daya manusia, uang, informasi
dan lain – lain. Sistem sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan yang terdiri
komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi,
materi atau energi.
Di dalam organisasi terjadi konversi dari input menjadi output dan di perlukan
banyak proses yang saling berhubungan dari fungsi-fungsi struktural yang ada sebagai
contoh RND, Produksi, Accounting, Marketing, IT dan lain -lain. Proses berjalan sampai
menjadi output dan akan di dapat data yang di hasilkan selama berjalan. Diharapkan data
dapat diolah menjadi informasi dan di kembalikan kembali ke setiap fungsi departemen
dimana akan di gunakan untuk mengukur kinerja, kontrol dan untuk pendukung dari
pengambilan keputusan. Ratusan atau ribuan proses ini saling berhubungan dan bekerja
sama dapat kita namakan dengan istilah business process. Business process akan
berkembang terus sejalan dengan berkembangnya organisasi.
Organisasi bukan sekedar shared vision, strategy, structure, system, style, staff and
skills. Organisasi bisa dilihat sebagai sistem sosial, ini cara paling pas melihat organisasi dari
perspektif lebih lebar. Inilah cara menterjemahkan “patterns” dan “events”. Pada masa lalu,
kita melihat organisasi hanya fokus pada bagian-bagian tertentu. Bila sebuah departemen
bekerja bagus sendiri dan tak terkoneksi dengan departemen lainnya, akibatnya organisasi
akan menderita.
Saat ini, banyak manajer mengakui begitu banyaknya bagian dalam organisasi,
khususnya keterkaitan antar bagian seperti koordinasi antara pusat dan daerah, mandor dan
buruh dan lain-lain. Para manajer saat ini lebih peduli pada apa yang bekerja di dalam
organisasi dan feedback. Jadi, bila ada persoalan dalam organisasi, manajer tidak serta
merta fokus pada persoalan yang dilaporkan, melainkan melihat pola keterkaitan yang lebih
besar. Manajer lebih fokus pada hasil yang ingin dicapai organisasi. Caranya, manajer lebih
fokus pada struktur yang bisa menciptakan perilaku yang mempengaruhi tindakan –
dibandingkan reaktif pada tindakan-tindakan yang selalu berulang sejak masa lalu.
* Teori Sistem dan Berfikir Sistem
Salah satu terobosan penting dalam melihat dunia yang kompleks adalah
teori sistem. Aplikasi teori ini dikenal sebagai analisis sistem. Salah satu alat bantu
analisis sistem adalah berfikir sistem. Secara awam, berfikir sistem adalah sebuah
cara membantu seseorang melihat dunia — termasuk organisasi — dari perspektif
yang luas termasuk struktur, pola dan tindakan dibandingkan melihat tindakan
secara khusus. Cara pandang yang luas membantu menemukenali isu-isu yang
mendasar dan tahu cara paling jitu mengatasinya.
*Karakter Sistem
Perilaku keseluruhan sistem bergantung pada keseluruhan struktur bukan
penjumlahan dari bagian-bagiannya. Struktur menentukan perilaku yang bermacammacam,
dan pada gilirannya menentukan berbagai kegiatan. Kerapkali, kita hanya
melihat dan menanggapi tindakan-tindakan. Inilah tindakan-tindakan yang
reaksioner. Kita lupa pada skema-skema yang lebih besar.
Seringkali di dalam organisasi, kita berfikir bisa memecah belah sistem dan
hanya merespon bagian-bagian di dalam sistem atau memilah bagian-bagian dari
sebuah topik. Teori sistem mengingatkan kita bila Anda mencincang sebuah gajah,
maka Anda tak mendapatkan segerombolan gajah-gajah kecil.
Sistem memiliki batas maksimum. Bila kita mencoba menciptakan sistem
yang lebih besar, maka sistem itu akan memecah diri untuk mencapai kestabilan
baru. Terlalu sering di dalam organisasi, kita selalu mencoba tumbuh dan membesar
– sampai batas sistemnya. Pada titik ini, kita lagi-lagi hanya melihat tindakan, bukan
perilaku, kebiasaan atau struktur yang mempengaruhinya. Jadi kita hanya berfikir
jangka pendek dan selalu menciptakan problem baru.
Ciri sistem yang lain yaitu sistem cenderung mencari keseimbangan di
lingkungannya. Sistem yang tidak berinteraksi dengan lingkungannya, cenderung
cepat mencapai batasnya seperti feedback dari client atau pelanggan.
Relasi sirkular hidup antara keseluruhan sistem dan bagian-bagiannya. Coba
perhatikan sebuah organisasi biasanya selalu mengalami problem yang sama dan
terus berulang. Problem senantiasa melingkar di dalam organisasi. Dan pada
gilirannya, anggota organisasi bisa menemu-kenali pola berulang tapi tidak bisa
menemukan si siklusnya sendiri. Bila kita bisa menemukan siklus dan sirkularnya, kita
bisa melakukan intervensi yang sistemik.
  • ORGANISASI SEBAGAI SISTEM SOSIAL
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa pengertian organisasi adalah suatu
kelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama. Tujuan merupakan hasil yang berupa
barang, jasa, uang, pengetahuan dan lain – lain. Sedangkan pengertian dari sosial adalah
manusia yang berkaitan dengan masyarakat dan para anggotanya(dikutip dari
W3dictionary). Dengan demikian system sosial merupakan orang-orang dalam masyarakat
dianggap sebagai sistem yang disusun oleh karakteristik dari suatu pola hubungan dimana
sistem tersebut bekerja untuk mewujudkan keinginannya. Beberapa hal yang
menggambarkan organisasi sebagai system social antara lain dengan adanya organisasi
social dan organisasi social.
Perilaku organisasi adalah telaah dan penerapan pengetahuan tentang bagaimana
orang bertindak di dalam organisasi. Dengan demikian dalam kaitannya dengan organisasi
sebagai sistem sosial maka kajian perilaku organisasi mencakup berbagai aspek seperti :
publik, bisnis, sosial dll. Sebagai contoh PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia)
sebagai organisasi yang bergerak dibidang olahraga sepakbola tidak hanya terpaku pada
satu aspek kajian yaitu sepakbola. Bidang – bidang lain juga harus dikaji untuk memajukan
organisasi dan mencapai tujuannya memajukan sepakbola Indonesia. Aspek yang dikaji
antara lain aspek bisnis, publik dll. Mungkin anda bertanya,”Apa kaitan sepakbola dengan
bisnis?”. Pada Zaman sekarang ini olahraga khususnya sepakbola memiliki kaitan dengan
aspek bisnis contohnya hak siar televise, iklan sponsor yang dapat menghasilkan income.
Kemudian apa hubungannya dengan social? Dalam aspek bisnis, masyarakat merupakan
pasar. Sedangkan dalam bidang olahraga masyarakat adalah factor pendukung dimana
masyarakat itu sendiri adalah bagian dari social.
Berdasarkan contoh di atas, kita tahu bahwa hampir semua pekerjaan dilakukan
dalam lingkup sosial. Begitupula dengan organisasi, organisasi akan berjalan dengan baik
jika diaturr dengan sistem yang baik sehingga cakupan sosial didalamnya dapat bekerja
sesuai pakem yang telah diatur dalam suatu sistem. Cakupan social yang dimaksud adalah
pekerjaan, komunikasi serta koordinasi yang dilakukan dalam organisasi tersebut untuk
mencapai tujuan bersama.
Faktor faktor Organisasi antara lain(menurut John Willey)
- Manusia
- Teknologi yang digunakan
- Tugas/ kerja
- Budaya organisasi
Manusia merupakan salah satu factor penting dalam organisasi. Manusia itu sendiri
merupakan makhluk social. Dan dalam organisasi manusia bekerja tidak sendiri, maka
manusia melakukan komunikasi serta koordinasi dalam bekerja. Dengan demikian aspek
social tidak dapat dipisahkan dari organisasi. Dan dapat dikatakan juda bahwa Sistem social
itu juga merupakan organisasi dan sebaliknya.
  • RUANG LINGKUP ORGANISASI DAN METODE
A. Sifat dan maksud organisasi dan metode
Sebelum membahas apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup organisasi
metode, kita akan membahas apa yang menjadi sifat dan maksud organisasi metode.
Karena ruang lingkup organisasi metode akan menyangkut efisiensi prosedur tata
cara kerja yang dipakai dalam melaksanakan fungsi fungsi menejemen. Sedangkan
pengertian organisasi dan metode, antara manajemen , organisasi, dan tata cara
kerja merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, artinya kalau tata cara
kerjanya sudah efisien maka diharpkan kegiatan pelaksanaan fungsi fungsi
manajemen dalam organisasi akan berjalan lancar. Jadi dalam hal ini sifat dan
maksud organisasi metode adalah pelayanan terhadap manajer dan administrasi
yang berusaha memajukan tata cara kerja yang dipegunakan untuk pencapaian
efisiensi yang maksimal pada organisasi tersebut.
B. Pengertian efisien
Efisien adalah perbandingan terbalik atau rasionalitas antara hasil yang
diperoleh ata output dengan kegiatan yang dilakukan serta sumber daya dan waktu
yang akan digunakan.
Jika dirumuskan :
Efisien = output
input

Efisien harus diperhatikan benar benar karena merupakan syarat dan tujuan
pada pelaksanaan kerja, sehingga organisasi dan metode sebagai bantuan secara
teknis dan praktis dalam melaksanakan fungsi manajemen bisa memanfaatkan
sumber sumber yang tersedia secara maksimal.
Syarat pencapaian efisien dalam organisasi dan metode adalah :
1. Pencapaian target haruslah berhasil guna, maksudnya target sesuai dengan
waktu yang telah di tetapkan, tetapi mutu dari hasil kerja tersebut juga harus
diperhatikan.
2. Ekonomis artinya dalam pencapaian effective (berhasil guna) penggunaan
sumber daya (biaya, tenaga, material, peralatan, dan waktu) digunakan setepat
tepatnya.
3. Pelaksanaan kerja bisa dipertanggung jawabkan
4. Harus benar benar mencerminkan pembagian kerja yang nyata karena adanya
keterbatasan kemampuan perseorangan
5. Rasionalitas wewenang dan tanggung jawab, artinya antara wewenang dan
tanggung jawab yang dibebankan harus seimbang.
6. Prosedur kerja yang praktis, dapat dikerjakan dan dapat dilaksanakan. Hal ini
untuk mencerminkan bahwa organisasi dan metode adalah kegiatan yang praktis
maka targetnya adalah efektif dan ekonomis, pelaksanaan kerja dapat
dipertanggung jawabkan, serta pelayanan yang memuaskan.
Cara peningkatan efisiensi kerja :
1. Pelaksanaan fungsi manajemen secara tepat
2. Pemanfaatan sumber daya ekonomi yang tepat
3. Pelaksanaan fungsi fungsi organisasi sebagai alat pencapai tujuan yang setepat
tepatnya.
4. Pengarahan dan dinamika organisasi dilakukan untuk pengembangan dan
kemajuan yang berkesinambungan.
C. Ruang lingkup organisasi dan metode
Dengan melihat maksud dan sifat organisasi dan metode merupakan
pelayanan bagi manajer dan addministrasi dalam melaksanakan fungsi manajemen
maka organisasi dan metode merupakan bantuan teknis dan praktis dalam
pelaksanaan teori teori organisasi dan manajemen dengan setepat tepatnya.
Maka dari sifat dan maksud organisasi dan metode dapat dipahami ruang
lingkupnya adalah hal hal yang menyangkut bidang bidang khusus dari organisasi
dan manajemen yang detail dan luas scope nya.
Kegiatan kegiatan yang termasuk kedalam scope organisasi dan metode adalah :
1. Analisis organisasi (organization analysis)
2. Komunikasi dalam organisasi (communication in the organization)
3. Tata cara kerja, prosedur kerja dan sistem kerja (work methods, procedure and
systems)
4. Pentingnya filing dari segi organisasi dan metode
5. Pentingnya jangka waktu penyimpanan data dan dokumen (record retention and
schedule)
6. Pentingnya formulir dari segi organisasi dan metode
7. Pendayagunaan mesin kantor (office machine)
8. Pendayagunaan perabotan dan peralatan kantor (office equipment)
9. Pentingnya tata ruang kantor dan perencanaan penyusunan ruang kerja (ofiice
layout and space planning)
10. Pentingnya penulisan laporan dalam organisasi dan metode
11. Pentingnya buku pedoman kerja
12. Pentingnya organisasi dan metode anggaran belanja
13. Analisis kepegawaian
14. Pentingnya penyederhanaan kerja
15. Organisasi unit dalam organisasi dan metode
16. Kesimpulan akhir (final conclusion)
Sesuai dengan perinsip perinsip dalam organisasi dan metode maka
pembahasan dalam bidang bidang tersebut akan dititik beratkan pada pembahasan
tentang sistem, prosedur dan tata cara kerjanya dalam kaitannya dengan asas
efisiensi. Oleh karena itu adanya sistem, prosedur dan tata cara kerja yang tepat
akan memungkinkan pelaksanaan fungsi fungsi manajemen yang dilakukan top
manajer juga tepat dan efisien dalam pemakaian sumber sumber daya (alam,
manusia) maupun penggunaan waktu yang tersedia.

Wednesday 2 March 2011

ORGANISASI & METODE (Mad ali uding,Kelas 1DB07,NPM 38110152)

Istilah organisasi dapat diartikan :

Wadah : sekelompok manusia untuk saling bekerjasama
Proses : pengelompokan manusia dalam suatu kerja sama yang efisien
Pengertian organisasi :
-Organisasi menurut Stoner
-Organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan manajer mengejar tujuan bersama.
-Organisasi menurut James D. Mooney
-Organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama.
-Organisasi Menurut Chester I. Bernard
-Organisasi merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
Istilah metode :
Berarti suatu tata kerja yang dapat mencapai tujuan secara efisien.
Pengertian organisasi dan metode secara lengkap adalah :
Rangkaian proses kegiatan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kegunaan segala sumber dan faktor yang menentukan bagi berhasilnya proses manajemen terutama dengan memperhatikan fungsi dan dinamika organisasi atau birokrasi dalam rangka mencapai tujuan yang sah ditetapkan.
Teori Organisasi
1. Teori Organisasi Klasik (Teori Tradisional)
Teori klasik (classical theory) berisi konsep-konsep tentang organisasi mulai tahun 1800 (abad 19). Secara umum digambarkan oelh para teoritisi klasik sebagai sangat desentralisasi dan tugas-tugasnya terspesialisasi, serta memberikan petunjuk mekanistik structural yang kaku tidak mengandung kreativitas.
a. Teori Birokrasi
Teori ini dikemukakan oleh Max Weber dalam bukunya “The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism. Kata birokrasi mula-mula berasal dari kata legal-rasional. Organisasi itu legal, karena wewenangnya berasal dari seperangkat aturan prosedur dan peranan yang dirumuskan secara jelas, dan organisasi disebut rasional dalam hal penetapan tujuan dan perancangan organisasi untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Teori Administrasi
Teori ini sebagian besar dikembangkan atas dasar sumbangan Henri Fayol dan Lyndall Urwick dari Eropa serta Mooney dan Reily dari Amerika.
Henry Fayol industrialis dari Perancis, pada tahun 1841-1925 mengemukakan dan membahas 14 kaidah manajemen yang menjadi dasar perkembangan teori administrasi adalah :
- Pembagian kerja (division of work)
- Wewenang dan tanggung jawab (authorityand responsibility)
- Disiplin (discipline)
- Kesatuan perintah (unity of command)
- Kesatuan pengarahan (unity of direction)
- Mendahulukan kepentingan umum daraipada pribadi
- Balas jasa (remuneration of personnel)
- Sentralisasi (centralization)
- Rantai scalar (scalar chain)
- Aturan (oreder)
- Keadilan (equity)
- Kelanggengan personalia (stability of tenure of personnel)
- Inisiatif (initiative)
- Semangat korps (spirit de corps)
MACAM ORGANISASI DARI SEGI TUJUAN DAN LUAS WILAYAHNYA
ORGANISASI NIAGA
Organisasi yang tujuan utamanya mencari keuntungan.
Macam-macamnya yaitu :
Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan Komanditer (CV)
Firma (FA)
Koperasi
Join ventura
Holding Company
2. Organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan.
Organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat.
Jalur pembentukannya :
Jalur Keagamaan
Jalur Profesi
Jalur Kepemudaan
Jalur Kemahasiswaan
Jalur Kepartaian & Kekaryaan
Organisasi Regional dan internasional.
Organisasi regional adalah organisasi yang luas wilayahnya meliputi beberapa negara tertentu saja.
Organisasi internasional adalah organisasi yang anggota-anggotanya meliputi negara di dunia.
BENTUK ORGANISASI
1. Organisasi Garis
Bentuk organisasi tertua dan paling sederhana. Ciri-ciri bentuk organisasi ini adalah organisasinya masih kecil, jumlah karyawannya sedikit dan saling mengenal serta spesialisasi kerja belum tinggi.
2. Organisasi Garis dan staf
Dianut oleh organisasi besar, daerah kerjanya luas dan mempunyai bidang tugas yang beraneka ragam serta rumit dan jumlah karyawannya banyak. Staf yaitu orang yang ahli dalam bidang tertentu, tugasnya memberi nasihat dan saran dalam bidang kepada pejabat pimpinan di dalam organisasi.
Organisasi fungsional
Organisasi yang disusun atasdasar yang harus dilaksanakan organisasi ini dipakai pada perusahaan yang pembagian tugasnya dapat dibedakan dengan jelas.
Organisasi Panitia
Organisasi dibentuk hanya untuk sementara waktu saja, setelah tugas selesai maka selesailah organisasi tersebut.
Organisasi Lini dan Staf
Staf tugasnya memberi layanan dan nasihat kepada manager dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Tugas yang dilakukan oleh ini merupakan tugas-tugas pokok dari suatu organisasi atau perusahaan
CONTOH STRUKTUR ORGANISASI DATA



Dalam bagan Departemen Kehutanan disini menggunakan sistem organisasi garis dan staf karena Dianut oleh organisasi besar, daerah kerjanya luas dan mempunyai bidang tugas yang beraneka ragam serta rumit dan jumlah karyawannya banyak. Staf yaitu orang yang ahli dalam bidang tertentu, tugasnya memberi nasihat dan saran dalam bidang kepada pejabat pimpinan di dalam organisasi.